15 September 2009

Untold Story

SEPTEMBER lalu, majalah Time memuat laporan utama yang menggemparkan: Umar al-Faruq mengaku kepada interogator Dinas Rahasia Amerika (CIA) bahwa ia adalah pejabat Al-Qaidah di Asia Tenggara yang beroperasi di Indonesia.

Menurut dokumen CIA, Faruq mengaku terlibat dalam kasus bom Natal 2000 dan berencana membunuh Presiden Megawati Soekarnoputri atas perintah Abu Bakar Ba’asyir, Ketua Majelis Mujahidin Indonesia. (Majalah TEMPO Edisi 25 November – 1 Desember 2002, hal. 69 - 87) ;)

Jejak Intelijen di Balik Al-Farouq
Banyak misteri dalam pengakuan itu. Siapa sebenarnya Al-Faruq? Kenapa Badan Intelijen Negara (BIN), yang menangkapnya atas tuduhan pelanggaran imigrasi, membiarkan dia jatuh ke tangan CIA? Kenapa Al-Faruq tidak diadili di sini jika benar ia telah membuat kejahatan besar di Indonesia?

Kenapa pula Abdul Haris, seorang aktivis Majelis Mujahidin Indonesia yang ditangkap bersama Al-Faruq, dilepas begitu saja? Benarkah dia tokoh yang disusupkan BIN ke dalam Majelis Mujahidin Indonesia untuk menjaring Ba’asyir dan kawan-kawan? Berikut ini investigasi TEMPO.

DI atas latar warna biru toska, gambar burung garuda dikitari bintang-bintang kecil terpampang pada kulit muka buku kecil itu. Mereka yang kerap berhubungan dengan dunia intelijen akan mudah mengenalinya sebagai simbol Badan Intelijen Negara (BIN). Dan pada bagian bawah sampul itu tercantum kata-kata "Sangat Rahasia".

Buku. kecil setebal 12 halaman itu, yang disalin isinya pekan lalu oleh wartawan TEMPO, memang memuat informasi yang tidak banyak diketahui umum. Sebagian isinya membeberkan rencana jahat sekelompok teroris untuk membunuh Megawati Soekarnoputri sebanyak dua kali, yakni ketika Megawati masih wakil presiden dan setelah menjadi presiden.

Seperti kita ketahui, pembunuhan itu tidak pernah terjadi. Namun, buku kecil itu bercerita lebih banyak dari sekadar plot dan skenario. Dia juga menghadirkan aktor-aktor.

Salah satu aktor adalah Syawal alias Salim Yasin alias Abu Seta, pria asal Makassar yang disebut dalam buku itu pernah berjihad di Afganistan. Dialah salah satu teroris yang, menurut buku itu, berencana membunuh Megawati pada Mei 1999. Adalah Syawal pula orang pertama yang dikontak ketika Umar al-Faruq alias Mahmud bin Assegaf, pria asal Kuwait itu, datang ke Indonesia.

Dan kisah selebihnya sudah menjadi rahasia umum. Majalah Time pada edisi 23 September 2002 memuat laporan utama yang mengguncangkan, membuat kisah yang semula hanya menjadi kasak-kusuk lingkungan intelijen itu terkuak ke kalangan publik. Mengutip antara lain dokumen Dinas Rahasia Amerika (CIA), majalah itu menulis pengakuan lengkap Al-Faruq, yang pernah tercatat sebagai penduduk Desa Cijambu, Kecamatan Cijeruk, Jawa Barat. Lebih dari sekadar operator, menurut Time, Al-Faruq adalah petinggi Al-Qaidah untuk kawasan Asia Tenggara.

Di samping terlibat dalam dua kali rencana pembunuhan terhadap Megawati, menurut majalah itu Al-Faruq mengaku terlibat dalam peledakan bom di sejumlah kota di Indonesia pada malam Natal tahun 2000 serta merencanakan peledakan sejumlah sarana milik AS di Singapura dan Indonesia. Semua aksi ini ia lakukan dengan bantuan Abu Bakar Ba'asyir, pemimpin Pondok Pesantren Ngruki, Solo.

Nyanyian Al-Faruq yang direkam oleh CIA itu segera mendatangkan hasilnya di Jakarta. Pengakuan itu membuat polisi punya alasan menahan Abu Bakar Ba'asyir, Ketua Majelis Mujahidin Indonesia yang juga disebut-sebut sebagai pemimpin spiritual Jamaah Islamiyah. Belakangan, polisi Indonesia memang membantah penangkapan Ba'asyir melulu berdasar nyanyian Al-Faruq, tapi berdasar pula kesaksian warga Malaysia yang ditahan pemerintah Singapura, Faiz bin Abu Bakar Bafana (lihat TEMPO 18 November 2002).

Bagaimanapun, Faruq menjadi orang pertama yang "bernyanyi" tentang Ba'asyir dan membuat ustad ini ditahan polisi pada 18 Oktober lalu, beberapa hari setelah ledakan bom hebat mengguncang Legian, Bali.

Tapi, siapa sebenarnya Al-Faruq, yang menurut buku kecil BIN itu kini ditawan di pangkalan militer milik Amerika Serikat di Baghram, Afganistan?

Penelusuran TEMPO atas tokoh ini lebih banyak memunculkan pertanyaan baru ketimbang membuatnya jernih. Sejumlah dokumen resmi menyebut dia lahir di Indonesia dan warga negara negeri ini. Sumber lain menyebut dia lahir di Irak atau Kuwait dan memiliki paspor Kuwait. Yang hampir pasti, ia memiliki kartu tanda penduduk, akta kelahiran, dan kartu keluarga di empat lokasi: Ambon, Makassar, Jakarta, dan Bogor (lihat Dasamuka yang Suka Menyaru).

Siapa pun Al-Faruq, ia kini populer sebagai teroris besar dengan rencana yang sangat jahat, seperti ingin membunuh presiden serta belasan orang dalam kasus bom Natal. Tapi kenapa dia kini berada di dalam tahanan Amerika, bukan di balik jeruji Indonesia sehingga bisa menjawab sebagian dari misteri hidupnya? Bukankah ia ditangkap di Indonesia, oleh aparat Indonesia?

Al-Faruq diciduk pada 5 Juni 2002 di Masjid Raya Bogor. Alasan resmi penangkapannya adalah pelanggaran dokumen imigrasi.

Menteri Kehakiman Yusril Izha Mahendra menjelaskan dalam pertemuan dengan anggota DPR Oktober silam, Faruq dideportasi karena, sebagai orang Timur Tengah yang mengaku warga negara Indonesia, ia tak bisa menunjukkan surat bukti kewarganegaraan Indonesia. Al-Faruq dihijrahkan ke Malaysia dengan pesawat Malaysia Airlines beberapa saat setelah ia dibekuk. Dan Muchyar Yara, Asisten Kepala BIN Bidang Hubungan Masyarakat, mengatakan Al-Faruq dideportasi ke Malaysia atas permintaannya sendiri (lihat Misteri Hari Terakhir).

Malaysia, Amerika Serikat, Guantanamo, Kuba. Atau Baghram, Afganistan. Entah di mana Al-Faruq sesungguhnya berada sekarang. Sebab, kisahnya ke Malaysia pun boleh jadi cuma fiksi. Seorang pejabat BIN kepada TEMPO beberapa waktu lalu mengatakan: "Faruq sebetulnya tidak diekstradisi ke Malaysia, tapi langsung diangkut ke Amerika Serikat," ujamya.

Aparat BIN, menurut sumber itu, mencap sendiri paspor Faruq seperti seolah-olah dia pergi ke Malaysia. "Dengan begitu, orang akan yakin dia terbang dulu dari Indonesia, ke Malaysia, baru ke Amerika Serikat," katanya. Padahal, pada kenyataannya Al-Faruq diangkut langsung ke sebuah pesawat militer Amerika yang sudah menunggu di Bandara Halim Perdanakusumah. Prosedur istimewa? Tidak sepenuhnya begitu dan toh ini bukan pertama kali.

Sejumlah media asing, majalah Time edisi 18 Maret 2002, misalnya, menyebut adanya kerja sama yang baik antara intelijen Indonesia dan Amerika dalam "perang melawan teror". Al-Faruq bukanlah hasil tangkapan Indonesia pertama yang kemudian disetor ke Amerika.

Harian The Australian menulis tentang seorang Pakistan bernama Hafiz Muhammad Sasa Iqbal yang ditangkap dalam operasi intelijen Indonesia pada 9 Januari 2002 dan "dideportasi" ke Mesir atas permintaan CIA.

Dalam penjelasan resminya kepada Koran Tempo (edisi 25 Februari 2002), Kapolri Da'i Bachtiar mengatakan: "Iqbal adalah titipan dari pihak imigrasi yang pernah diperiksa polisi. Dia juga disebut-sebut punya kaitan dengan jaringan Al-Qaidah sehingga dideportasi ke luar negeri." Tapi pengakuan Faruq membuat kisah pengirimannya ke luar negeri menjadi lebih kontroversial dibanding Iqbal. Banyak pihak, termasuk media massa, mempersoalkan mengapa Indonesia menyerahkan begitu saja orang yang dituding melakukan kejahatan besar di Indonesia ke tangan orang asing.

Profesor emeritus Daniel S. Lev, bekas dosen Universitas Washington di Seattle dan seorang pengamat senior masalah Indonesia, termasuk yang memandang aneh pelepasan Al-Faruq itu. "Semestinya ia diadili di Indonesia," kata Lev, yang pernah mengkaji sistem hukum Indonesia serta mendalami masalah hak asasi manusia dan perbandingan politik. "Bukankah perbuatan pidana yang dituduhkan itu terjadi di Indonesia, bukan Amerika? Atas dasar apa dia diserahkan ke Amerika?"

Lev mengatakan, dia mengendus ada permainan tapi tidak tahu persis permainan apa. "Saya tanya ke orang-orang di Washington. Tapi mereka juga mengaku tidak tahu," ujamya. "Pemerintahan Bush memang aneh. Tetapi yang lebih aneh lagi adalah Jakarta, mengapa pemerintah rela begitu saja menyerahkan orang ini."

Jangankan Daniel Lev. Mira Agustina, istri Al-Faruq, pun mengaku penuh diliputi tanda tanya ketika suaminya tiba-tiba menghilang begitu saja sejak 4 Juni lalu.

Subuh pada 5 Juni, dua orang berbadan tegap serta berjaket hitam yang mengaku aparat imigrasi memberondong masuk rumahnya di Cijeruk, Bogor. Menurut Oman Komariah, ibu Mira, ada sekitar 20 pria dengan perawakan dan pakaian serupa yang menunggu di halaman rumah. "Mereka minta diantar ke kamar Faruq dan akan segera membawa Al-Faruq," kata Oman. Tapi Al-Faruq tidak ada. Para tamu akhirnya hanya membawa sejumlah barang dan berkas milik tuan rumah.

Ketua rukun warga setempat, Ukus Sewaka, yang datang mendekat karena mendengar suara gaduh, mencoba menanyakan identitas para tamu asing itu, tapi dijawab singkat dan sangar: "Dari imigrasi pusat!" Tatkala Ukus mau mencatat nomor mobil mereka --empat Mitsubishi Kuda dan satu Panther asal Jakarta dan Bogor-- mereka mencegahnya. Itu membuat Ukus mengerut dan tak berani ikut masuk ke rumah Mira ketika terjadi penggeledahan. "Abdi sieun (saya takut)," ujarnya.

Muchyar Yara dari BIN mengatakan penggerebekan dan penangkapan Al-Faruq dilakukan lembaganya bersama aparat imigrasi. Tapi, kata Yara, BIN-lah yang melakukan koordinasi. "Penangkapan itu memang kami yang mengarahkan," tuturnya. Alasan keimigrasian bisa jadi bukan dalih utama. "Kami memperoleh informasi awal dari intelijen Filipina, Singapura, dan Amerika bahwa ada orang asing di kampung (Cijambu, Kecamatan Cijeruk, Bogor) yang terlibat dalam jaringan terorisme," Yara melanjutkan.

Menteri Koordinator Polkam, Susilo Bambang Yudhoyono, membenarkan kesaksian Muchyar Yara. Dalam pernyataannya di Bandung, 20 September lalu, Yudhoyono mengatakan: "Pemerintah tahu pasti rencana dan penangkapan Al-Faruq. Sebab, pekerjaan itu dilakukan intelijen Indonesia setelah melakukan investigasi untuk memerangi terorisme."

Al-Faruq, menurut Muchyar Yara, ditangkap oleh suatu tim di bawah komando Mayor Andika, seorang perwira Kopassus yang diperbantukan ke BIN. Kebetulan atau tidak, sang Mayor adalah menantu Kepala BIN Letnan Jenderal (Purn.) Hendropriyono. Dengan kata lain, ini lebih mirip operasi polisi. BIN rupanya tidak hanya melakukan pengumpulan data intelijen, tapi juga menangkapi orang --sebuah praktek yang ganjil.

Masih ada kejanggalan lain. Pihak imigrasi sendiri membantah terlibat. Direktur Jenderal Imigrasi Iman Santoso, yang tengah berada di Jerman saat itu, mengatakan tidak tahu masalah dan alasan penangkapan. Al-Faruq. Sementara itu, Kepala Humas Direktorat Jenderal Imigrasi Ade Endang Dahlan juga menegaskan pihak imigrasi tidak mengetahui ataupun terlibat dalam penangkapan tersebut.

Kepolisian Republik Indonesia memang belakangan mengirirnkan dua petugasnya ke Afganistan untuk memeriksa Al-Faruq guna kepentingan penyidikan terhadap Abu Bakar Ba'asyir. "Tapi mereka manbantah keterlibatannya dalam penangkapan Al-Faruq sendiri. "Tidak pernah ada penangkapan itu," kata Kepala Humas Polri Brigjen Saleh Sa'af kepada Tempo News Room, awal Juli lalu. Belakangan, seorang perwira tinggi di Mabes Polri membisikkan hal ini kepada TEMPO: "BIN tak melibatkan polisi." Menurut pejabat itu, setelah ditangkap, BIN menyerahkan Faruq ke polisi. Namun polisi tak bisa menemukan bukti pelanggarann.ya kecuali soal pemalsuan dokumen imigrasi itu. Lalu, soal deportasi ke Amerika itu?

"Penyerahan ke Amerika itu tidak lepas dari desakan negara adikuasa tersebut,” kata sumber di Polri tersebut. "Dan ini membuktikan bahwa nuansa politis dari kasus ini semakin jelas." Tekanan politis ini pula yang barangkali membuat BIN akhirnya merelakan jeri.h-payah memburu Al-Faruq yang mereka lakukan dilakukan melalui penyadapan jaringan telepon internasional (lihat Jejak Seluler Meringkus Faruq).

Gunjingan terhadap BIN makin keras ketika sebuah fakta lain muncul dalam penangkapan Faruq. Seorang pria bernama Abdul Haris dibekuk bersamanya, tapi kemudian dibebaskan. Kepada TEMPO, yang sempat mewawancarainya, Haris mengaku persangkutannya dengan Faruq hanya karena urusan paspor. "Saya mengenal Faruq karena membantu menguruskan paspor isterinya, Mbak Mira," ujarnya.

Namun, penelusuran TEMPO menemukan indikasi kuat bahwa dia bukan sekadar "calo paspor": dia orang BIN yang ditanam dalam Majelis Mujahidin Indonesia.

Dalam Majelis Mujahidin, Haris duduk sebagai pengurus di Departemen Hubungan Antar-Mujahid --sebuah posisi strategis yang mengatur hubungan antar-organisasi Islam di dalam dan di luar negeri. Namun, pada saat yang sama, bahkan Polri sendiri mengatakan Haris adalah anggota BIN. Dalam pernyataan resminya yang dilansir oleh situs Liputan6.com, Kapolri Da'i Bachtiar menyatakan Haris adalah orang BIN yang menemani dua polisi berangkat ke Afganistan untuk menemui Al-Faruq. Berita ini juga disiarkan beberapa kali oleh SCTV.

Kepada TEMPO, Haris sendiri membantah dia orang BIN. Demikian pula Muchyar Yara, yang mendukung pernyataan Haris dalam soal itu. Tapi, Yara mengatakan Haris adalah kawan lama Hendropriyono –sebuah fakta yang membuat kalangan Majelis Mujahidin bisa saja memiliki alasan untuk curiga.

Maklumlah, ada bebacapa "kebetulan" yang menyusahkan organisasi itu. Abdul Haris menghilang dari pertemuan dan kegiatan Majelis Mujahidin bersamaan dengan hilangnya Faruq. Ihwal menghilangnya Haris sebenarnya disadari oleh aktivis MMI. "Sudah sekitar enam bulan Haris tidak aktif. Kami memang mendapat kabar bahwa dia seorang agen yang disusupkan, tapi kami tidak gegabah mempercayainya sebelum diklarifikasi,"ujar Irfan S Awwas, Ketua Tanfidziyah MMI.

Sementara itu, Faruq, yang ternyata disetor kepada CIA, kini menyanyikan pengakuan yang menyudutkan Ba'asyir dan membuatnya ditahan polisi. "Haris itu orangnya baik dan humanis, tapi saya tak mengira dia itu munafik," kata Elang Lesmana Ibrahim, seorang aktivis Islam dari Bandung, yang beberapa kali bertemu Haris (lihat Donnie Brasco dari Ciputat).

Sejarah intelijen Indonesia memang mencatat kelompok-kelompok radikal Islam, sebagai salah satu "kerikil dalam sepatu" yang terus-menerus ada. Dan bukan hal baru kalangan intelijen menanam agennya ke organisasi Islam dengan tujuan melumpuhkannya. "Sejak masa Orde Baru, kelompok Islam selalu dipermainkan," kata Daniel Lev. "Dari sudut pandang intelijen seperti BIN –dulu Bakin-- orang-orang radikal Islam berguna sekali karena gampang digerakkan dan dipakai."

Hendropriyono sendiri bukan sekali ini bersilangan riwayat hidupnya dengan gerakan radikal Islam. Pada akhir dasawarsa 1980, ketika masih menjadi Komandan Korem di Lampung, dia memimpin operasi menumpas Gerakan Warsidi sebuah kelompok yang dituduh ingin mendirikan negara Islam. Darah tumpah di situ, dan Human Rights Watch menyebutnya sebagai "The Butcher of Lampung".

Kini, Hendropriyono, yang belakangan ini dikenal akrab dengan sejumlah tokoh Islam, bukan lagi tentara lapangan. Dia memimpin BIN, lembaga intelijen yang belakangan ini memperoleh kekuasaan besar setelah keluarnya Perpu Anti- terorisme pada 18 Oktober lalu.

Hendropriyono tak bersedia memenuhi permintaan wawancara TEMPO. Muchyar Yara, yang diminta mewakilinya, menolak tuduhan BIN atau Hendropriyono menanam Haris untuk menjaring Ba'asyir. “Tapi, jika benar Haris orang BIN, apakah itu sesuatu yang salah?" kata Muchyar. "Bukankah yang dimata-matai itu orang asing yang bikin kekacauan, di Poso, Ambon, dan sebagainya?" (lihat "Haris Teman Lama Hendro")

Al-Faruq yang dimata-matai bisa saja orang asing. Dan Al-Faruq, melalui sebuah rekaman video yang diperoleh BIN, barangkali benar pemah melatih orang-orang Islam dalam sebuah kamp di Poso. Tapi, Ba'asyir adalah warga negara Indonesia yang sudah terkena getah dari pengakuan Al-Faruq di depan CIA.

Ini bahkan bukan sekadar nasib seorang Ba'asyir yang tudingan terhadapnya masih harus dibuktikan di pengadilan kelak. Ini menyangkut hendak dikemanakan badan intelijen Indonesia.

Beberapa hari setelah ledakan dahsyat di Legian, Bali, pemerintahan Megawati mengeluarkan peraturan pemerintah tentang pemberantasan tindak pidana terorisme. Peraturan itu memberikan peran lebih besar lagi kepada Kepala BIN, yang pada pemerintahan Megawati memiliki posisi setara menteri kabinet. Dan kini, setelah Bali, Megawati memberi BIN wewenang untuk melakukan koordinasi atas semua badan intelijen yang ada di berbagai departemen dan kepolisian.

Posisi BIN juga bisa lebih kuat lagi mengingat data intelijen yang dijaring melalui kegiatan mata-mata, seperti penyadapan dan penyusupan, kini bisa diterima sebagai alat untuk menahan seorang tersangka teroris, meskipun keabsahan data itu harus diuji oleh pengadilan.

Setelah serangan teror di Bali, meski semula enggan, Indonesia akhirnya harus terlibat dalam barisan perang melawan terorisme yang dipimpin Amerika. Banyak negara lain juga melakukannya dengan, antara lain, mengadopsi undang-undang anti-terorisme. Namun, seperti dilaporkan Human Rights Watch awal tahun ini, "perang melawan terorisme" ternyata banyak pula disalahgunakan oleh rezim- rezim otoriter untuk menindas oposisi dan para pengkritik.

Membuat badan intelijen yang punya akuntabilitas adalah salah satu cara menghindari ekses seperti itu.
(Majalah TEMPO Edisi 25 November – 1 Desember 2002, hal. 69 - 87)

Donnie Brasco dari Ciputat
Badan Intelijen Negara diduga kuat "menanam" seorang intelnya dalam Majelis Mujahidin Indonesia yang dipimpin Abu Bakar Ba'asyir. Berikut ini kisah penyusupan itu.

HUJAN jatuh di kawasan Ciputat, Tangerang, dan lelaki itu baru saja hendak meninggalkan rumah. "Anda perlu dengan saya? Boleh, tapi sebentar saja, ya," katanya. Ia sungguh santun. Badannya sedikit besar. Kulitnya putih. Di keningnya membayang titik hitam tanda bekas su]ud. Sore itu ia mengenakan songkok berwarna gelap dan baju takwa berkelir cokelat. Tak jauh dari tempat ia berdiri, tampak dua orang perempuan berjilbab: yang seorang istrinya dan yang seorang lagi anak gadisnya. Di luar rumah, sebuah mobil Kia Visto siap berangkat. "Sebetulnya kami sudah ada acara di tempat lain," katanya.

Di teras rumah yang lumayan besar, ia bercerita tentang dirinya. Seorang lelaki biasa yang sepintas tak istimewa. Muhammad Abdul Haris, 50 tahun: seorang pengurus Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) yang mencari nafkah sebagai guru dan pekerja swasta. Adapun MMI adalah organisasi Islam yang diketuai Abu Bakar Ba'asyir ustad pemimpin Pesantren Ngruki, yang menjadi sorotan karena dituding menjadi simpul terorisme di Indonesia.

Lebih dari sekadar aktivis, setengah tahun terakhir Haris menjadi bahan gunjingan di kalangan penggiat organisasi massa Islam. Tamsil Linrung, pengurus Partai Amanat Nasional yang pernah ditahan di Filipina karena tuduhan membawa bom misalnya, mencurigai dia sebagai intel BIN.

Tak cuma menyusup ke MMI, Haris menjadi kunci bagi tertangkapnya Umar al-Faruq, yang kini menjadi tahanan AS karena dituduh memimpin jaringan Al-Qaidah di Asia Tenggara termasuk Indonesia. Haris pula yang mengantar tim investigasi polisi yang mewawancarai Faruq di Afganistan, setelah majalah Time menulis berita tentang Faruq pada September lalu. Meski mati-matian dibantah Haris dan BIN, peran Abdul Haris ini diakui oleh Kepala Kepolisian RI sendiri. “Tim investigasi itu terdiri atas Brigadir Jenderal Polisi Aryanto Sutadi, Komisaris Besar Polisi Benny Mamoto, dan anggota Badan Intelijen Negara Abdul Haris," kata Kepala Kepolisian RI Jenderal Da'i Bachtiar seperti dikutip situs Liputan6.com, 17 Oktober 2002.

Meski tak persis benar, kisah penyamaran Haris mirip dengan cerita polisi yang menyusup ke sarang mafia Italia dalam film Donnie Brasco: sempurna, tak terlacak, dan baru disadari ketika semuanya berakhir. Dan Haris, sang Brasco dari Ciputat, memulainya pada 1995. Ketika itu, ia bertemu dengan Irfan S. Awwas orang yang belakangan menjadi salah satu Ketua MMI di rumah seorang dai di kawasan Cawang, Jakarta Timur. Haris meyakinkan: bahasa Arabnya bagus dan ia memahami masalah agama dengan baik.

Seperti Irfan, Haris memimpikan syariat Islam tegak di Indonesia. Setelah pertemuan itu, mereka sering bertemu. Ketika Majelis Mujahidin didirikan melalui kongres pertamanya, 5-7 Agustus 2000, Abdul Haris langsung dipercaya menjadi pengurus di Departemen Hubungan Antar-Mujahid (Qism 'Alaqatul Mujahidin). Ini posisi penting karena "di sini diatur hubungan antar-organisasi Islam di dalam dan luar negeri," kata seorang pengurus MMI.

Selama di MMI, Haris menjadi pusat infonnasi. Ia kerap menyerahkan catatan yang disebutnya sebagai info intelijen mengenai kasus Maluku dan Poso. Ia juga mengetahui aktivis Islam Indonesia yang pernah ikut berperang di Afganistan. Meski aktif, anehnya, Haris selalu menghindar jika difoto. Karena itu, dalam dokumentasi MMI, gambar Haris tak pernah ada.

Tak hanya di MMI, ia berkeliling ke aktivis Islam lain. Di Bandung, Abdul Haris mendatangi Lesmana Ibrahim, pensiunan mayor angkatan laut yang mengelola sebuah taman kanak-kanak Islam. Lesmana adalah kawan baik almarhum Haris Fadilah alias Abu Dzar, mertua Al-Faruq. "Saya mengenal dia karena diperkenalkan seorang kawan," kata Lesmana. Di rumah pria itu, Haris menginap dan berbincang tentang gerakan Islam. "Salah satu hal yang dibahas adalah soal Amerika, Israel, dan. terjepitnya muslim Palestina," kata Lesmana Ibrahim.

Beberapa bulan setelah perternuan itu, Haris datang lagi. Kali ini ia meminta Lesmana menandatangani pernyataan sikap yang intinya mendukung diberlakukannya Piagam Jakarta. Tapi Lesmana menolak. Sampai di sini, baik Lesmana maupun orang-orang MMI tak ada yang curiga kepada Abdul Haris. Kecurigaan baru muncul ketika sejak Juni lalu Haris tiba-tiba menghilang dari komunitas gerakan Islam.

Juni lalu? Itulah saat Faruq ditangkap intelijen BIN di Bogor, Jawa Barat. Dalam keterangan resminya, BIN mengaku penangkapan dilakukan karena Faruq punya masalah keimigrasian. Ketika ditangkap, pria itu sedang bersama Haris. Saat itu Haris sedang mengantar paspor milik istri Faruq, Mira Agustina. Kepada TEMPO, Haris mengaku hanya membantu membuatkan paspor untuk Mira. Dia mengaku mengenal Faruq, tapi membantah keras bahwa dia memata-matai tokoh itu (lihat Abdul Haris:"Saya Orang Swasta Murni").

Tapi ada cerita lain dari Tamsil Linrung. Menurut Tamsil, nama Abdul Haris sebetulnya sudah muncul ketika ia ditahan pemerintah Filipina awal 2002 lalu. Ketika itu, seorang intel Filipina bernama Rueben P. Galban berkali-kali mengaku bahwa informasi tentang Tamsil dan Agus Dwikarna mereka peroleh dari intel Indonesia. "BIN dibantu oleh orang Indonesia yang bernama Abdul Haris," kata Galban seperti ditirukan Tamsil.

Galban adalah perwira polisi berpangkat super-intenden dan merupakan kepala bidang penghubung intelijen asing dalam badan kepolisian Filipina. Galban bahkan menjelaskan sepak terjang Haris, termasuk sejarah kedekatan Haris dengan Faruq. "Ia dikenalkan dengan Faruq oleh seseorang bernama Syawal," kata Tamsil mengutip Galban.

Terkesan kaget, ketika dikonfirmasi, Galban membantah cerita Tamsil Linrung. "BIN tidak memberikan informasi kepada kami. Maaf, ya, sekarang saya amat sibuk," katanya. Lalu, klik, telepon ditutup. Belakangan, Galban bersedia menjawab lebih panjang. "Informasi

yang saya bicarakan dengan Tamsil itu saya ketahui dari media massa, bukan informasi intelijen," ujarnya kepada TEMPO melalui telepon internasional.

Sepulang Tamsil dari Filipina, Haris mengontaknya. Dalam sebuah pertemuan, Haris mengatakan bahwa penangkapan Tamsil terjadi karena ada "seseorang" yang melaporkan ke BIN. Haris juga mengaku mendapatkan banyak mfo tentang gerak-gerik aktivis Islam lainnya seperti Agus Dwikarna dan Fathur Rahman al-Ghozi dari badan intelijen itu. "Ia mengaku membaca kertas yang tercecer ketika sedang memasang karpet di kantor BIN, " kata Tamsil. Kepada TEMPO, Haris mengaku pernah mendapat proyek pengadaan karpet dari BIN.

Kecurigaan Tamsil terbit. Demikian pula tokoh lain yang pernah ditemui Haris. Tapi, seperti dalam Donnie Brasco, semua telah terlambat. "Ia pernah menelepon saya dan mengatakan merasa tidak enak karena sedang bersama Faruq saat Faruq ditangkap," kata Lesmana Ibrahim. "Saya tidak menyangka kalau dia munafik begitu. Saya akui dia baik dan humanis. Karena itu, sungguh saya tidak menyangka," kata Irfan S. Awwas.

Siapakah Haris sesungguhnya? Muhammad Abdul Haris adalah lelaki kelahiran Desa Rowobayem, Purworejo, 8 Mei 1952. Ia pernah kuliah di Jurusan Fikih Fakultas Syariah Institut Agama Islam Negeri Sunan Kalijaga, Yogyakarta, dan lulus pada 13 Juli 1977. Skripsinya membahas asas legalitas hukum pidana di Indonesia.

Bapak dua anak ini pada 1989-1991 memperdalam bahasa Arab di Riyadh, Arab Saudi. Ia mengaku belajar di Jamiah Malik as-Suud, sebuah universitas di sana. Menurut Hamdi el-Faragh, yang pernah mengajarnya, Haris termasuk mahasiswa yang pintar. Ia menonjol dalam analisis maddah (materi), nahwu-sharaf (tata bahasa), dirasah Islamiyah (studi Islam), serta mata pelajaran ta'bir kitabi dan syafahy (pengungkapan bahasa Arab lisan dan tulisan). Hamdi mengaku mengenal Haris karena ia biasa mengabsen mahasiswa yang ada. Soal dana, Haris mengaku mendapat beasiswa dari pemerintah Arab Saudi.

Tapi penelusuran TEMPO menunjukkan Haris bukan mahasiswa biasa. Seorang sumber BIN sendiri memastikan, di Arab Saudi, Haris dibiayai lembaga intelijen itu. Menurut sumber itu, Haris telah "dipelihara" sejak 15 tahun lalu. Tentang beasiswa pemerintah Arab Saudi kepada Haris, Hamdi el-Faragh membantah, "Dia tidak dibiayai pemerintah Arab Saudi. Ada seorang kafil (penyumbang dana) tetap baginya dari Indonesia, tapi saya tidak tahu siapa." Detail lain dikemukakan Hamdi: "Hanya mahasiswa yang belajar empat tahun (program gelar -Red.) yang mendapatkan beasiswa dari pemerintah Arab Saudi. Sedangkan Abdul Haris hanya belajar dua tahun dalam program non-gelar."

Lalu apa motivasi Haris? Tak jelas. Seorang aktivis MMI mencurigai Haris mendapat uang dari BIN karena aksinya tersebut. Tapi sulit memastikannya. Rumah Haris di bilangan Ciputat memang bagus --setidaknya bila dibandingkan dengan tetangga sekitarnya-- tapi

tak ada bukti yang lebih kuat. BIN membantah telah memelihara Haris (lihatwawancara MuchyarYara).

Haris sendiri kini menghilang. Setelah pertemuan dengan TEMPO di sebuah sore yang basah itu, telepon genggam Haris masih bisa dihubungi beberapa kali. Tapi, setelah itu, ia menghilang. Seperti Donnie Brasco, tugasnya telah usai.

(Majalah TEMPO Edisi 25 November – 1 Desember 2002, hal. 69 - 87)

Abdul Haris: "Saya Orang Swasta Murni"
DARI mana Anda kenal keluarga Al-Faruq?
Kebetulan saya kenal paman Mira (Mira Agustina, istri Al-Faruq -Red.). Namanya Muhabbah. Dia pedagang bakso di Bogor. Kami pernah beberapa kali bertemu. Dengan Faruq, saya bertemu pas mengurus paspor Mbak Mira.

Mengapa Anda sampai tertangkap bersama Al-Faruq di Masjid Raya Bogor?[
Saya berjanji bertemu untuk menyerahkan paspor Mira kepada Faruq karena Mira waktu itu ada di Tanjung Pinang. Cuma, saya sayangkan, sebelum saya menyerahkan paspor itu, rupanya Faruq sudah merasa kalau sedang dicari. Cuma dia tidak berceritera, akhirnya saya ikut kena getahnya. Kalau tahu begitu, saya serahkan saja paspor itu ke pamannya Mira.

Bagaimana kronologinya?
Saat itu sekitar tanggal 5 Juni. Fauq meminta paspor itu dibawa ke Rawamangun. Belum satu jam, dia menelepon saya dan minta saya mengantarkannya ke bandara. Baru saya mau meluncur ke sana, dia meralat lagi. Sudah, kalau begitu ditunggu saja di Masjid Raya Bogor. Jadi, dia yang menentukan tempat, saya hanya mengikuti. Saya heran, mau menyerahkan paspor istrinya kok minta tempat ketemunya berpindah-pindah dan tidak berani datang ke imigrasi langsung. Saya menduga dia sudah tahu dirinya diikuti terus sejak awal.

Akhirnya Anda berdua bertemu di Bogor?
Ya, di Masjid Raya Bogor selepas salat asar. Ketika kami sedang mengobrol, datang beberapa orang mau menangkap Faruq. Mereka mengaku dari imigrasi dan tidak bersenjata.

Berapa jumlah mereka?
Saya tidak tahu persis. Peristiwanya cepat sekali. Mereka bilang Faruq ditangkap karena memalsukan paspor. Kami langsung diborgol dan dibawa dengan mobil terpisah. Mata saya ditutup selama perjalanan hingga masuk ke sebuah ruangan selama kurang-lebih satu jam. Waktu itu pakai mobil Kijang. Celakanya, waktu itu Faruq membawa uang Rp 27 juta sehingga saya dikenai tuduhan menjual paspor sangat mahal. Padahal, perjanjian kami, saya mendapat upah sekitar satu juta rupiah.

Berapa lama Anda ditahan?
Saya ditahan selama dua malam satu hari, dan diperiksa terpisah dengan Faruq. Perternuan terakhir kami ya ketika mengobiol di masjid sebelum ditangkap.

Apa saja yang mereka tanyaban kepada Anda?
Soal perkenalan dengan Faruq. Saya bilang hanya membantu membuatkan paspor istrinya, Mira. Lalu dicek silang dengan Faruq. Untunglah Faruq melindungi saya karena dia tidak omong macam-macam, misalnya saya ini orang MMI, Majelis Mujahidin Indonesia. (Keputusan Kongres I MMI pada 5-7 Agustus 2000 menetapkan Abdul Haris sebagai anggota Departemen Hubungan Antar-Mujahid -Red.)

Kalau urusannya sama-sama cuma soal paspor, kok Anda kemudian dilepas dan Faruq terus ditahan?
Mereka yakin bahwa saya hanya orang yang mencari duit.

Anda ikut tim Mabes Polri ketika menginterogasi Al-Faruq?
Saya heran dikait-kaitkan dengan itu. Nama Abdul Haris kan banyak sekali, tapi yang jelas bukan saya. Saya sendiri kan bukan siapa-siapa, ha-ha-ha.

Anda kan fasih berbahasa Arab dan kenal Al-Faruq?
Bahasa Arab saya kurang begitu bagus.

Faruq itu warga negara Indonesia atau asing?
Kalau saya perhatikan sih bukan. Kosakata Indonesia-nya sedikit sekali dan patah-patah. Kami berkomunikasi dalam bahasa Arab.

Kami mendapat informasi, Anda memperoleh proyek pemasangan karpet dan gorden di kantor Badan Intelijen Nasional?
Saya memang pernah mendapat proyek pengerjaan karpet di BIN.

Ini informasi lain yang kami peroleh: Anda pernah menyodorkan daftar nama orang yang dicari dan bakal ditangkap BIN kepada Hendro?.
Masya Allah, saya ini orang swasta murni. Hidup saya kan dari satu kontrak ke kontrak lainnya. Kok informasinya aneh-aneh begitu? Tidak, tidak pernah saya melakukan hal itu.

Anda belajar di Riyadh selama dua tahun (1989-1991). Kami mendapat informasi Anda dibiayai Badan Intelijen Negara (ketiba itu Bakin)?
Ha-ha-ha, isunya kok aneh-aneh begitu. Beasiswa saya dari pemerintah Arab Saudi. Teman-teman seangkatan saya banyak. Ada yang dari Yayasan Al-Masturiah, ada juga yang dari Muhammadiyah. Jadi, beasiswa itu memang untuk banyak orang.

Kabar itu muncul karena beberapa kalangan orang mencurigai Anda orang BIN yang ditanam di MMI?
Saya orang swasta murni. Istri saya seorang guru. Saya hidup dari kontrakan.

Apakah Anda mendapat mobil Kia Carnival dari BIN karena sukses membantu penangkapan Faruq?
Masya Allah, kejam sekali informasinya. Tanya saja ke Irfan Awwas (Ketua Umum MMI), kapan saya punya mobil dan jenisnya.

===

(Majalah TEMPO Edisi 25 November – 1 Desember 2002, hal. 69 - 87)

Dasamuka yang Gemar Menyaru
SEBAGAI sosok yang begitu penting, Umar al-Faruq sama membingungkannya seperti tokoh dunia pewayangan Dasamuka --sang raksasa yang memiliki banyak wajah. Oleh kalangan intelijen, khususnya Badan Intelijen Negara (BIN) dan Dinas Rahasia Amerika (CIA), dia. diyakini bagai operator Al-Qaidah di Indonesia. CIA secara khusus menyebut tokoh ini mengakui terlibat dalam berbagai peledakan bom di Indonesia dan ikut serta dalam plot membunuh Presiden Megawati Soekarnoputri. Berdasar pengakuan Al-Faruq itu pula polisi belakangan menangkap Abu Bakar Ba'asyir, tokoh yang disebutnya memberikan perintah melakukan semua kejahatan tadi.

Namun penelusuran TEMPO menunjukkan: sejumlah orang yang dipercaya mengenal Al-Faruq --sebagian di antaranya adalah sumber resmi—terbukti tidak sependapat tentang detail dari riwayat hidupnya. Kapan dan di manakah dia dilahirkan? Benarkah dia tidak bisa berbahasa Indonesia? Kenapa dia bisa memiliki tiga KTP di kota berbeda? Apa sebenarnya aktivitas dia sehari-hari?

Banyak pertanyaan itu hanya akan terjawab jika saja aparat Indonesia tidak menyerahkan Al-Faruq kepemerintah AS. Dan kini, andai Al-Faruq bisa dihadirkan, semua kesaksian yang bertabrakan di bawah ini bisa dijelaskan.

Dinas Rahasia Amerika (CIA)Al-Faruq ditangkap di Indonesia 5 Juni lalu dan diserahkan kepada CIA untuk diinterogasi. Setelah berdiam tiga bulan, menurut dokumen CIA yang dikutip majalah Time, Al-Faruq buka mulut seperti ini.


--Lahir di Kuwait, 24 Mei 1971.

--Dikenal dengan nama Al-Faruq al-Kuwaiti.

--Tokoh kunci Al-Qaidah di Asia Tenggara.

--Berperan membekingi dana gerakan Jamaah Islamiyah yang tokohnya menjadi incaran di Malaysia dan Singapura.

--Seiak 1990-an mengikuti latihan Al-Qaidah di kamp Khaldan, Afganistan.

--Kenal dekat dengan pemimpin kamp, Al-Mughira al-Gaza'iri., dan tangan kanan Usamah bin Ladin, Abu Zubaidah. Dia juga mengaku kenal dengan Ibn Al-Shakyl al-Libi, yang kata dia pernah memerintahkan serangan ke pusat-pusat kepentingan Amerika di Asia Tenggara.

--Pergi ke Filipina Selatan dan membantu MILF (Front Pembebasan Islam Moro) serta tinggal di kamp Abu Bakar pada 1995.

--Membantu Agus Dwikarna (sekarang di tahanan Filipina karena dituduh membawa peledak saat masuk Filipina) melahirkan Lasykar Jundullah, kelompok Islam militan Makassar yang terlibat dalam kekerasan melawan warga Kristen di Poso, Sulawesi.

--Mendalangi sejumlah aksi peledakan gereja di Indonesia pada malam Natal 2000.

--Mendalangi kerusuhan antar-agama di Poso dan Ambon.

--Merencanakan penyerangan bom bunuh diri terhadap kapal perang Amerika yang berlabuh di Surabaya, akhir Mei lalu.

--Dua kali merencanakan membunuh Presiden Megawati Soekarnoputri.

Kepolisian RI
Pada 11 Oktober setelah memperoleh izin dari C1A, Kepolisian Republik Indonesia mengirim tim yang beranggotakan Superintenden Benny Mamoto dan Brigjen Aryanto Sutadi (Direktur Tindak Pidana Umum Markas Besar Polri) untuk menginterogasi Al-Faruq di Kabul, Afganistan.

Seperti kita baca dari berita acara pemeriksaan Abu Bakar Ba'asyir, interogasi terhadap Al-Faruq dilakukan dalam bahasa Inggris yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Arab. Para interogator Indonesia banya mengumpankan 35 pertanyaan yang dijawab Al-Faruq dengan "yes" atau "no". Al-Faruq hanya sekali menjawab "no", yakni ketika dia ditanya apakah merasa dipaksa dalam interogasi, dan dia menjawab semua pertanyaan di bawah ini dengan "yes".


--Apakah nama Anda Ahmad Muhammad alias Faruq al-Kuwaiti alias Mahmud bin Ahmed Muhammed Sagaf alias Umar Faruq?

--Anda memakai nama Mahmud bin Ahmad Assegaf ketika berada di Indonesia?

--Apakah Anda lahir di Irak?

--Apakah Anda warga negara Kuwait?

--Anda masuk ke Indonesia sejak 1998 dari Filipina?

--Anda memimpin Koperasi "Rashid" di Ambon, yang dibiayai oleh Al-Moudi, Direktur Yayasan Al-Haramayn di Indonesia?

--Anda bertemu Abu Bakar Ba'asyir di Ambon ketika Anda memimpin koperasi itu?

--Anda menerima uang dan tiket dari Abu Zubaidah untuk pergi dari Peshawar (Pakistan) ke Filipina?

--Anda berencana menyerang kepentingan Amerika di Indonesia?

--Benarkah Abu Bakar Ba'asyir merestui serangan ke Kedutaan Besar Amerika di Jakarta?

--Benarkah Abu Bakar Ba'asyir merestui menggunakan anggota Jamaah Islamiyah untuk menyerang kepentingan Amerika di Asia Tenggara?

--Benarkah ikut merencanakan peledakan bom di sejumlah gereja pada malam Natal 2000?




Mira Agustina
Perempuan bercadar ini menikah dengan Al-Faruq pada 26 Juli 1999. Mira, santri Pondok Al-Muttaqien, Jepara, Jawa Tengah, dijodohkan oleh ayahnya (almarhum), Haris Fadillah. Bersama dua anaknnya dari perkawinannya dengan Al-Faruq, Mira kini tinggal di Desa Cijambu, Cijeruk, Bogor, Jawa Barat.

Majalah Time yang mengutip dokumen CIA menunjuk Mira dari Cijeruk itulah istri dari Al-Faruq yang kini ditawan di Baghram, pangkalan Amerika di Afganistan. Namun, ketika ditunjukkan fotokopi gambar Al-Faruq, Mira sendiri mengatakan "tidak mengenalnya".


Inilah Al-Faruq versi Mira.

--Bernama asli Mahmud bin Ahmad Assegaf, namun sering dipanggil Abu Faruq.

--Seorang keturunan Arab yang lahir di Ambon, 24 Mei 1971.

--Fasih berbahasa Indonesia dengan logat Ambon.

--Semua keluarga sudah meninggal, dan Faruq punya ayah angkat di Kuwait yang juga sudah meninggal.

--Sehari-hari berdagang mutiara dan kayu gaharu.

--Senang menonton televisi, terutama film laga dan program flora-fauna.

--Tidak mengenakan pakaian gamis ala Islam ketika keluar rumah sehari-hari.



Dody M. Wibowo
Kepala Imigrasi Kelas I Makassar ini pejabat yang bertanggung jawab saat Al-Faruq mengajukan aplikasi paspor. Menurut Dody, Al-Faruq ditangkap dan dikarantina di Makassar karena bersikap mencurigakan: tidak bisa berbahasa Indonesia.


Inilah AI-Faruq versi Dody.

--Al-Faruq mengajukan permohonan paspor dengan nama Faruq Ahmad.

--Memiliki akta kelahiran dengan nama Faruq Ahmad, lahir di Ujung Pandang (nama lama Makassar), 10 Desember 1966.

--Memegang KTP Makassar dengan nomor 21.5005.101266.0001, yang berlaku dari 8 Februari 1999 hingga 10 Desember 2002.

--Tinggal di Makassar dari 8 Februari 1998 hingga Februari 1999 di Jalan Veteran Selatan Lorong 2/2A.

(Warga setempat yang diwawancarai TEMPO mengatakan tidak mengenal nama Faruq, dan menyatakan tidak pernah ada pria yang menyewa rumah tersebut.)

--Kepada petugas imigrasi, Faruq mengaku datang dari Pakistan dan masuk ke Malaysia, kemudian ke Indonesia. Saat di Malaysia, Faruq kehilangan paspor Pakistan. Dia masuk Indonesia secara ilegal pada Februari 1998, untuk berdakwah sebagai mubalig.



Kantor Wali Kota Ambon

Al-Faruq pernah tinggal di Ambon. Dokumen dari kantor ini mendukung kesaksian Mira, bahwa Al-Faruq:

--Bernama Mahmud bin Ahmad Assegaf, lahir di Ambon, 24 Mei 1971.

--Memiliki KTP Ambon nomor 25.5002.240571.0001.

--Alamat di BTN Kebun Cengkeh Blok 04 no 2 RT 004/RW 005, Batu Merah, Sirimau, Ambon. (Dari penelusuran TEMPO, tidak banyak tetangga yang mau bercerita tentang Al-Faruq, tapi ada seorang tokoh muda muslim yang menyatakan Al-Faruq sering berdakwah di masjid-masjid, membangkitkan semangat solidaritas keislaman di Maluku.)

Ayi Nugraha

Kepala Sub-Direktorat Penindakan Keimigrasian Direktorat Jenderal Imigrasi Departemen Kehakiman. Ayi menunjukkan fotokopi paspor dan KTP Al-Faruq dengan alamat Jakarta:

--Kantor imigrasi Jakarta Timur mengeluarkan paspor Al-Faruq 27 Februari 2002 atas nama Ahmad Assegaf dengan foto Al-Faruq seperti yang diberitakan media.

--Dia membawa KTP nomor 09.5401.240571.85277 dengan alamat RT 03/RW 07, Kelurahan Utan Kayu Selatan, Matraman, Jakarta Timur.



Ali Al-Dafiri

Kuasa usaha Kedutaan Besar Kuwait di Jakarta ini memberikan dua keterangan berbeda tentang kewarganegaraan Al-Faruq.

--Al-Faruq memiliki paspor Irak dan lahir 1969 dengan nama Mahmud Ahmad Muhammad Al-Rasyid.

--Dia masuk ke Kuwait pada 1985 dan bekerja di sana hingga meninggalkan Kuwait tahun 1995. (Namun ketika dihubungi TEMPO lagi pekan lalu, Al-Dafiri menyatakan Faruq lahir di Kuwait dan meninggalkan Kuwait pada 1995.)

--Sebagian keluarganya masih di Kuwait, namun tetap bukan warga negara Kuwait.(Majalah TEMPO Edisi 25 November – 1 Desember 2002, hal. 69 - 87)




Misteri Hari Terakhir
Kata BIN, Al-Faruq dideportasi karena paspor palsu. Tapi banyak kejanggalan seputar penangkapannya.

SELEPAS asar pada 5 Juni 2002 lalu, terjadi keributan kecil di halaman Masjid Raya Bogor. Namun keramaian di Jalan Pajajaran di depan masjid, dan keriuhan di terminal Bogor yang tak jauh dari situ, membuat orang tampaknya tidak terlalu hirau ketika sekitar 10 orang mengepung dua orang di masjid itu dan meringkusnya.

Itulah hari ketika Mahmud bin Ahmad Assegaf raib. Tiga bulan kemudian, tokoh tak dikenal itu kali ini muncul dengan nama Umar al-Faruq menjadi pusat pembicaraan sebagai "tokoh" Al-Qaidah yang menyusup ke Indonesia.

Apa yang sebenarnya terjadi pada awal juni itu?

"Saya bertemu Al-Faruq di masjid itu ketika mereka menangkap kami," kata Abdul Haris, orang yang ditangkap bersama Al-Faruq dalam penggerebekan kilat itu, kepada TEMPO via telepon dua pekan lalu. Haris membantu menguruskan paspor Mira Agustina, istri Al-Faruq, yang berencana pergi bersama suami dan dua anaknya ke Selangor, Malaysia. Haris berjanji menyerahkan paspor hari itu.

Sebelum pertemuan, Haris mengaku sempat berbicara lewat telepon genggam dengan Al-Faruq. Dalam teleponnya yang pertama, kata Haris, terdengar suara Al-Faruq dengan nada gelisah dan ragu. Ia minta Haris datang ke Rawamangun bersama paspor pesanan itu. Tapi, kata Haris, tak sampai sejam kemudian Al-Faruq menelepon lagi untuk minta bertemu di Bandar Udara Cengkareng, sekalian menjemput kawannya yang tiba dari luar negeri. Belum sempat Haris meluncur, Faruq menelepon lagi. "Tunggu saja di Masjid Raya Bogor," begitu ucapan Haris menirukan Al-Faruq. Bersama Mira dan dua anaknya, Al-Faruq memang tinggal di Cijeruk, Bogor.

Pembicaraan telepon itu mengesankan Al-Faruq gelisah karena mencium ada yang tak beres hari itu tapi tak tahu di mana dan kapan bahaya akan menerkamnya.

Firasataya benar. Selepas salat asar, mereka sempat mengobrol dalam bahasa Arab di beranda masjid. Nahas, ketika itulah serombongan orang datang menangkap mereka. Al-Faruq, kata Haris, ditangkap dengan tuduhan memalsukan paspor. Haris, yang berada di sampingnya, kena getah ikut diciduk.

Dalam ingatan Haris, penangkapan itu berlangsung cepat. "Tahu-tahu tangan kami sudah diborgol," tuturnya. Haris dimasukkan ke mobil Toyota Kijang, lalu kedua matanya ditutup. Faruq digelandang ke mobil terpisah. Mereka berputar-putar di Kota Bogor hampir sejam dan tiba-tiba saja berhenti. Menurut Haris, mereka berdua disekap dalam sebuah rumah tinggal. "Saya sulit mengingat di mana lokasi rumah itu karena pusing setelah mata ditutup," katanya. Dua hari kemudian Haris dibebaskan dan sejak itu tak pernah sekalipun ia bertemu lagi dengan Al-Faruq.

Siapa menangkap Al-Faruq? Benarkah Al-Faruq ditangkap aparat imigrasi atau polisi karena pemalsuan paspor? Kantor Departemen Kehakiman di Jakarta mengaku tidak tahu-menahu penangkapan itu. "Kami tak mengirim tim ke Bogor," kata Ade Dachlan, juru bicara Direktorat Jenderal Imigrasi. Polisi pun mengatakan tak terlibat dalam penangkapan itu.

Muchyar Yara, Asisten Kepala Bidang Sosial dan Kemasyarakatan Badan Intelijen Negara (BIN), mengatakan penangkapan itu dipimpin oleh Mayor Andika Perkasa, perwira pasukan elite Kopassus yang diperbantukan dalam operasi BIN. Andika sendiri adalah menantu Letnan Jenderal A.M. Hendropriyono, ketua badan intelijen itu.

"Penangkapan itu memang kami yang mengarahkan," kata Muchyar kepada TEMPO pekan lalu. "Kami memperoleh informasi awal dari intelijen Filipina, Singapura, dan Amerika bahwa ada orang asing di kampung (Cijambu, Kecamatan Cijeruk, Bogor) yang terlibat dalam jaringan terorisme," tutur Muchyar. (Lihat wawancara dengan Muchyar Yara: "Haris Teman Lama Hendro")

Namun, bukannya diadili di Indonesia, tiga hari setelah ditangkap Al-Faruq dibawa ke Bandar Udara Halim Perdanakusumah, Jakarta, tempat ia diterbangkan dengan sebuah pesawat khusus ke Amerika. Sebuah sumber TEMPO mengatakan, BIN-lah yang mencap paspor Faruq dengan cap kedatangan Malaysia agar berkesan ia telah dideportasi ke negara itu, dan menghindari kesan BIN telah menyerahkan Al-Faruq kepada Amerika.

Beberapa hari setelah penangkapan di Masjid Raya Bogor itu, Mira Agustina mengaku menerima telepon dari Haris, yang bercerita perihal penangkapan suaminya tanpa penjelasan rinci. Belakangan Mira mengatakan kehilangan kontak dengan Haris, yang memintanya tidak lagi menelepon "karena ditekan oleh orang-orang yang menangkapnya".

Sejak itu pula Mira tak tahu ke mana gerangan suaminya pergi, sampai September lalu ketika pengakuan Al-Faruq diangkat menjadi laporan utama majalah Time.(Majalah TEMPO Edisi 25 November – 1 Desember 2002, hal. 69 - 87)

Jejak Seluler Meringkus Faruq
UMAR al-Faruq dicokok gara-gara telepon seluler. Sebab, telepon genggamnya itu justru menjadi petunjuk bagi intelijen. Untuk melacak di mana saja dia berada dan siapa saja yang ia kontak. Nomor teleponnya, 08129576852, justru menebar di sejumlah ponsel orang-orang yang ditangkap oleh aparat keamanan di sejumlah negara. Menurut Muchyar Yara, Asisten Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) Bidang Hubungan Masyarakat, nomor telepon Faruq tertera di ponsel Agus Dwikarna yang ditangkap di Filipina, dan Parlindungan Siregar yang ditangkap di Spanyol, April lalu.

Keterangan Muchyar sama dengan laporan majalah Time yang mengutip investigasi CIA, November lalu. Menurut majalah terkemuka di dunia itu, nomor ponsel Faruq juga tercatat di telepon seluler Ibn al-Khattab, seorang komandan tentara Chechnya yang sudah ditangkap Rusia. Ada pula dalam hand phone Abu Zubaydah, tangan kanan Usamah bin Ladin, dan seorang Taliban yang ditahan di Penjara X Ray di Guantanamo Kuba. Agus Dwikarna membantah soal ponsel ini. "Saya tidak pernah kontak dengan orang di Bogor,” kata Agus kepada TEMPO.

Berdasarkan lalu lintas telepon itulah, kata Muchyar, kediaman Faruq dilacak.

1. Spanyol-Bogor
Parlindungan Siregar seorang warga Indonesia ditangkap polisi Spanyol dengan tuduhan anggota jaringan teroris. Di ponsel Parlindungan tercatat nomor ponsel Umar al-Faruq. Saat di tahanan, Parlindungan diperkenankan membawa ponselnya itu. Selama di tahanan, ia konon sempat beberapa kali menelepon Al-Faruq lewat handphone. Pembicaraannya direkam oleh polisi Spanyol. Informasi soal halo-halo itu juga dikirim ke intelijen Indonesia.

2. Bogor-Spanyol
Saat di tahanan itu beberapa kali ponsel Parlindungan menerima telepon dari sebuah wartel di kawasan Bogor, Jawa Barat. Diduga, wartel tersebut terletak tak jauh dari rumah Al-Faruq.

3. Manila-Bogor
Awal Juni lalu, polisi Filipina menangkap Agus Dwikarna, pemimpin Laskar Jundullah, yang disebut- sebut tertangkap basah membawa bahan peledak di kopornya. Di selnya, Agus membawa serta telepon

seluler miliknya. Selama berada di sel itulah, kata Muchyar, Agus beberapa kali menelepon Al-Faruq melalui ponsel. Tapi Agus Dwikarna membantah.

4. Bogor-Manila
Sebuah ponsel dari kawasan Bogor terdeteksi beberapa kali menelepon ke ponsel Agus Dwikarna. Telepon juga kerap datang dari wartel yang tempataya sama dengan nomor telepon yang masuk ke ponsel Parlindungan.

5. Chechnya
Nomor ponsel Umar al-Faruq juga tertera di ponsel Ibn al-Khattab, seorang komandan tentara Chechnya yang ditangkap Rusia.

6. Guantanamo, Kuba
Nomor telepon Umar al-Faruq juga tertera di ponsel seorang anggota taliban yang disel di Penjara X Ray, Guantanamo, Kuba.

Sumber: Badan Intelejen Nasional(Majalah TEMPO Edisi 25 November – 1 Desember 2002, hal. 69 - 87)

Muchyar Yara: “Haris Teman Lama Hendro”
TAK cuma urusan menangkal teror yang membuat Badan Intelljen Negara (BIN) super sibuk belakangan ini. Para petinggi Pejaten, markas besar lembaga mata-mata itu, kini juga harus bekerja ekstra keras menangkis berbagai tuduhan yang dialamatkan kepadanya. Meski belum satu pun yang didukung bukti konkret, oleh sebagian kalangan Kepala BIN Hendropriyono gencar dituding telah ikut "bermain" dalam gelombang penangkapan sejumlah tersangka teroris belakangan ini, atas pesanan intelljen asing, khususnya Amerika Serikat.

Suara sumbang itu mulai keras terdengar saat penangkapan Tamsil Linrung dan Agus Dwiksma di Filipina beberapa waktu lalu. Diyakini banyak kalangan, BIN-lah sejatinya yang berada di balik operasi menggaruk Tamsil dan Agus, dua tokoh Komite Penegak Syariat Islam dan Komite Penanggulangan Krisis (Kompak) yang keras dicurigai telah ikut mengobarkan perang sipil di Poso. Sebagaimana dikutip kantor berita Antara, adalah Hendro sendiri yang pada pertengahan Desember tahun lain menyatakan sebuah indikasi ke arah itu: "Ada orang Al-Qaidah yang ditangkap di Spanyol. Pemerintah Spanyol yang memberi tahu Indonesia soal Al-Qaidah berlatih di Poso."

Syak wasangka ke arah tokoh yang kini berada di pucuk lembaga intelijen ini bukan tanpa latar sejarah. Berbagai literatur, antara lain studi International Crisis Group, telah menunjukkan betapa Ali Moertopo, Ketua Badan Koordinasi Intelijen Negara (Bakin) di awal rezim Soeharto, telah giat memata-matai dan "memainkan" kelompok Islam militan untuk kepentingan politik Orde Baru. "Mereka (kelompok Islam garis keras) semacam kartu yang bisa dipakai oleh orang yang berambisi berbuat sesuatu," kata Indonesianis Daniel Lev.

Dan sebagaimana halnya Ali, Hendro juga merupakan sosok yang punya pergaulan amat luas di kalangan ini. Persinggungan Hendro, pensiunan letnan jenderal berusia 57 tahun, dengan kelompok Islam radikal berawal saat ia menjabat Komandan Komando Resor Militer (Korem) 043/Garuda Hitam, Lampung. Ketika itu, 7 Februari. 1989, pasukannya menyerbu Desa Talangsari, yang dicurigai merupakan markas Kumpulan Warsidi, salah satu kelompok Islam militan, dan menewaskan sedikitnya 246 orang.

Dari situlah ia mengembangkan sayap. Dimulai pada awal 1990-an saat ia duduk di kursi Direktur A (bidang dalam negeri) Badan Intelijen Strategis --lembaga mata-mata militer-- Hendro aktif melakukan pendekatan dengan para tokoh eks Talangsari. Dan penggalangan itu telah menunjukkan hasil. Di kalangan Islam militan lalu dikenal sejumlah orang yang kerap disebut-sebut sebagai "binaan Hendro".

Kecurigaan ke arah itu kini mumlbul kembali seiring munculnya nama Abdul Haris dalam drama penangkapan Al-Faruq, warga Kuwait yang diyakini CIA sebagai salah satu pentolan Al-Qaidah, yang ditangkap di Bogor oleh satuan gabungan intelijen Indonesia sebelum kemudian dideportasi ke tahanan Amerika di Afganistan. Penelusuran mingguan ini menduga, Haris tak lain adalah seorang agen BIN yang telah "ditanamkan" untuk mengawasi gerak-gerik berbagai jaringan Islam berhaluan keras, termasuk Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) yang dipimpin Abu Bakar Ba'asyir.

Untuk mengetahui apakah penyusupan ini merupakan sebuah kisah sukses operasi intelijen dalam menangkal terorisme ataukah tak lebih dari sekadar sebuah permainan spionase demi kepentingan yang lain, TEMPO mewawancarai Muchyar Yara, Asisten Kepala BIN Bidang Hubungan Masyarakat. Berikut petikannya.

Apa peran BIN dalam penangkapan Umar al-Faruq?

Informasi memang dari kami. Tapi yang melakukan penangkapan adalah pihak imigrasi, lalu dideportasi. BIN hanya menyertai.

Bersama Al-Faruq, ditangkap juga Abdul Haris, seorang aktivis Majelis Mujahidin Indonesia (MMI).

Haris adalah teman lama Hendropriyono sejak masih menjadi Panglima Daerah Militer Jaya, bahkan mungkin sejak masih kolonel. Hubungan antara Haris dan Pak Hendro sebatas teman. Tapi, tidakbenar Haris ikut ditangkap bersama Al-Faruq.

Jadi, Haris adalah teman yang kemudian dibina menjadi agen untuk disusupkan ke organisasi Islam?

Enggaklah. Tapi, seandainya dia orang yang bekerja untuk BIN, lalu kenapa? Yang dimata-matai kan orang asing (Al-Faruq), tukang bikin kekacauan di Poso, Ambon.

Haris juga berada di lingkungan Ba'asyir, yang disebut-sebut sebagai tokoh Jamaah Islamiyah dan dikaitkan dengan terorisme internasional.

Terus kenapa? Apakah tidak boleh BIN mengamati Ba'asyir? Benarkah langkah itu diambil atas pesanan dari CIA?

Ya, tidak benar. Soal Al-Faruq, kita memang mendapat informasi dari intelijen Filipina dan Singapura bahwa Faruq itu teroris. Tapi waktu itu tidak bisa kita buktikan. Dari CIA juga masuk informasi seperti itu, tapi bukan berarti ada order. Yang terbukti ketika ditangkap hanya pelanggaran imigrasi. Maka, sanksinya hanya dideportasi. Kalau saja waktu itu ada bukti kuat (terlibat terorisme), pasti langsung kami serahkan ke polisi. Yang ada di tangan saat itu cuma kontak telepon antara Agus Dwikarna dan Al-Faruq. Lalu, apa salahnya?

Bukankah ada bukti rekaman video Faruq seperti yang pernah dipertontonkan Hendro ke Komisi Pertahanan Dewan Perwakilan Rakyat?

Bukti itu baru didapat September lalu, setetah Faruq dideportasi.

Kembali ke Haris. Benarkah ia direkrut langsung oleb Hendro karena pergaulannya yang luas di kalangan Islam militan?

Yang saya tahu, mereka berkawan sejak dulu. Tapi, untuk urusan pekerjaan kantor, setahu saya tidak pernah ada Abdul Haris. Begitu juga sewaktu Pak Hendro masih di Badan Intelijen Strategis. Kalau yang akan Anda katakan adalah bahwa informan tak harus seorang anggota resmi BIN, itu betul.

Jadi, dia informan BIN dalam penangkapan Faruq?

Tidak. Dia tak tahu-menahu soal penangkapan Faruq. Yang dilakukannya hanya menjual tiket pesawat ke Malaysia untuk Faruq.

Haris teman lama Hendro, tapi malah menjual tiket pesawat untuk Faruq. Cuma kebetulan?

Ini bukan pekerjaan Pak Hendro. Dia tidak tahu apa-apa soal ini.

Jadi, Haris sama sekali tidak terkait dengan penangkapan Faruq?

Dalam konteks penangkapan Faruq, baik informasi awal maupun penangkapannya, tidak ada peran Haris. Menurut Pak Hendro, dia mengetahui Haris pernah mengurus tiket Faruq baru setelah Faruq dideportasi.

Lalu, siapa yang ditangkap bersama Faruq?

Setahu saya, yang ditangkap bareng Faruq itu pemuda masjid di sana yang kebetulan sedang berjalan bersama Faruq. Jadi, bukan Haris yang teman Pak Hendro itu.

Namanya juga Abdul Haris?

Enggak tahu juga tuh. Mungkin saja namanya sama. Kalau Haris yang Anda maksud adalah pemuda masjid yang ditangkap bersama Faruq, berarti dia sudah dilepaskan. Tapi, jika Haris yang dimaksud adalah orang yang mengurus paspor dan menjual tiket ke Faruq, dia tidak ikut ditangkap.

Benarkah Haris pernah mendapat proyek pemasangan karpet di kantor BIN?

Saya tidak tahu persis. Saya kira kok tidak ada proyek pemasangan karpet di BIN akhir-akhir ini. Mungkin sudah lama kali ya.

Benarkah Haris aktif di MMI?

Yang saya tahu, dia memang aktivis berbagai organisasi dan gerakan Islam.

Kabarnya, dia juga pernah mendapat beasiswa ke Riyadh dari Bakin pada sekitar tahun 1990-an?

Tidaklah.

Menurut sumber kami di kepolisian, Haris masuk dalam daftar yang dikirim BIN ke polisi supaya segera ditangkap. Benar?

Tidak mungkin. Kalaupun ya, pasti tidak termasuk Haris itu. Seratus persen tidak mungkin ada surat seperti itu dari BIN ke kepolisian. Ada sebabnya, tapi saya tak bisa menjelaskannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar